Menyongsong Era Revolusi Industri


REVOLUSI INDUSTRI
Industrialisasi dipandang sebagai langkah tepat dalam menjawab potret sejarah kemiskinan dunia. Walaupun pada awalnya mengurbankan sebagian masyarakat lainnya sehingga muncul kesenjangan sosial serta sosial serta menghasilkan kerusakan lingkungan, namun pada akhirnya industrialisasi mendatangkan kekayaan serta kenyamaan hidup karena dikelilingi oleh peralatan–peralatan yang user-friendly technologies. Revolusi industri secara simpel artinya adalah perubahan besar dan radikal terhadap cara manusia memproduksi barang.
Revolusi industri menurunkan, malah terkadang MENGHILANGKAN beberapa kelangkaan tersebut, sehingga waktu, tenaga, dan uang yang semula digunakan untuk mengatasi kelangkaan-kelangkaan tersebut mendadak jadi bebas, jadi bisa digunakan untuk hal lain, untuk mengatasi kelangkaan yang lain. Hilangnya atau berkurangnya sebuah kelangkaan otomatis mengubah banyak aspek dalam kehidupan bermasyarakat.

Revolusi Industri 1.0
Revolusi Industri pertama adalah yang paling sering dibicarakan, yaitu proses yang dimulai dengan ditemukannya lalu digunakannya mesin uap dalam proses produksi barang. Sebelum adanya mesin uap, kita Cuma bisa mengandalkan tenaga otot, tenaga air, dan tenaga angina untuk menggerakkan apapun. Tenaga otot terbatas. Misalnya, manusia, kuda, sapi dan tenaga-tenaga otot lainnya tidak mungkin bisa mengangkat barang yang amat berat, bahkan dengan bantuan katrol sekalipun. Selain dengan otot, tenaga lain yang sering diginakan adalah tenaga air dan tenaga angin. Untuk tenaga angin, masalah tambahan adalah tenaga angina tak bisa diandalkan 24 jam sehari.
Karena kini tenaga mesin tidak dibatasi oleh otot, angin, dan air terjun, terjadilah penghematan biaya dalam jumlah luar biasa di bidang produksi, transportasi, bahkan militer. Revolusi industri ini juga mengubah masyarakat dunia, dari masyarakat agraris di mana mayoritas masyarakat bekerja sebagai petani, menjadi masyarakat industri. Namun, dampak negatif revolusi industri ini, selain pencemaran lingkungan akibat asap mesin uap dan limbah-limbah pabrik lainnya.



              Penampakan mesin uap Watt          
        Yang menjadi pijakan untuk  revolusi industri pertama
Revolusi Industri 2.0
Revolusi Industri kedua adalah yang terjadi di awal abad ke-20. Saat itu, produksi memang sudah menggunakan mesin. Tenaga otot sudah digantikan oleh mesin uap, dan kini tenaga uap mulai digantikan dengan tenaga listrik.
Di akhir 1800-an, mobil mulai diproduksi secara massal. Namun, di pabrik mobil, setiap mobil dirakit dari awal hingga akhir di titik yang sama. Revolusi terjadi dengan menciptakan “Lini Produksi” atau Assembly Line yang menggunakan “Ban Berjalan” atau conveyor belt di tahun 1913. Selain itu, conveyor belt juga digunakan untuk mengangkut barang tambang dari tambang ke kapal lalu dari kapal ke pabrik. Pengunaan conveyor belt dan lini produksi juga menghemat luas lahan yang diperlukan pabrik. Ribuan tank, pesawat, dan senjata-senjata tercipta dari pabrik-pabrik yang menggunakan lini produksi dan ban berjalan. Ini semua terjadi karena adanya produksi massal (mass production). Perubahan dari masyarakat agraris menjadi masyarakat industri boleh dibilang jadi komplit. 




     Pabrik mobil Ford model T sebelum revolusi industri 2.0

Revolusi Industri 3.0
Revolusi Industri ketiga mengubahnya. Setelah revolusi ini, abad industri pelan-pelan berakhir, abad informasi dimulai. Kalau revolusi pertama dipicu oleh mesin uap, revolusi kedua dipicu oleh ban berjalan dan listrik, revolusi ketiga dipicu oleh mesin yang bergerak, yang berpikir secara otomatis: komputer dan robot.
Komputer semula adalah barang mewah. Salah satu komputer pertama yang dikembangkan di era Perang Dunia 2 sebagai mesin untuk memecahkan kode buatan Nazi Jerman, yaitu computer yang bisa diprogram pertama yang bernama colossus adalah mesin raksasa sebesar sebuah ruang tempat tidur. Tidak punya RAM, dan tidak bisa menerima perintah dari manusia melalui pita kertas. Komputer purba ini juga membutuhkan listrik luar biasa besar: 8500 watt! Namun kemampuannya gak ada sepersejutanya smartphone yang ada di kantong kebanyakan orang Indonesia saat ini. Dimulai dari temuan internet dan computer yang mempengaruhi pola komunikasi dan peredaran informasi di masyarakat.



Komputer colossus
yang menjadi pijakan awal revolusi industri 3.0

Revolusi Industri 4.0
Konsep “Industri 4.0” pertama kali digunakan di publik dalam pameran industry Hannover Messe di kota Hannover, Jerman di tahun 2011. Pertama, kemajuan yang paling terasa adalah internet. Semua komputer tersambung ke sebuah jaringan bersama. Kedua, kemajuan teknologi juga menciptakan 1001 sensor baru, dan 1001 cara untuk memanfaatkan informasi yang didapat dari sensor-sensor tersebut yang merekam segalanya selama 24 jam sehari. Informasi ini bahkan menyangkut kinerja pegawai manusianya. Misalnya, kini perusahaan bisa melacak gerakan semua dan setiap pegawainya selama berada di dalam pabrik. Ketiga, berhubungan dengan yang pertama dan kedua, adalah cloud computing. Perhitungan-perhitungan rumit tetap memerlukan computer canggih yang besar, tapi karena sudah terhubung dengan internet, karena ada banyak data yang bisa dikirim melalui internet, semua perhitungan tersebut bisa dilakukan di tempat lain, bukannya di pabrik. Keempat, ini yang sebetulnya paling besar: Machine learning, yaitu mesin yang memiliki kemampuan untuk belajar, yang bisa sadar bahwa dirinya melakukan kesalahan sehingga melakukan koreksi yang tepat untuk memperbaiki hasil berikutnya.  Mengkombinasikan keempat hal ini artinya perhitungan yang rumit, luar biasa, dan tidak terpikirkan tentang hal apapun bisa dilakukan oleh supercomputer dengan kemampuan di luar batas kemampuan manusia.  Setiap revolusi industri sebetulnya adalah proses yang rumit dengan pengaruh luar biasa luas maupun dalam di masyarakat.

Big Data dan Artifical Intelegent
Komputer telah lama berada di masyarakat, namun tidak menangkap perilaku penggunanya. Berbeda saat smartphone digunakan, perilaku konsumen dapat dikumpulkan dalam big data sebagai hasil perekaman aktifitas pergerakan melalui penggunaan GPS, hasil penggunaan akses terhadap internet, hasil hasil komunikasi menggunakan media sosial, hasil interaksi antara konsumen dan produsen dalam menggunakan produk, dan hasil perilaku atau kebiasaan lainnya.  Big data merekam semua data serta kegiatan yang pernah dilakukan untuk kemudian memprediksi apa yang mungkin terjadi di masa mendatang. Ketersediaan dan penggunaan big data tidaklah terhindarkan dalam bisnis mendatang. Banyak perusahaan konvensional yang sudah mulai beralih ke media online karena media tersebut lebih mudah keras, baik perusahaan kecil ataupun perusahaan besar.
Ada tiga area utama dalam bisnis yang sangat membutuhkan akses terhadap big data, yaitu improving decision making, improving operations, dan the monetizing of data. Laporan riset Internasional Data Corporation (IDC)Worldwide Semiannual Big Data and Analytics Spending Guide yang dikutip oleh Mediana (2018) menunjukkan bahwa pendapatan bisnis teknologi dari hasil pengumpulan, pengolahan dan analisa data berukuran besar (big data analytic).
Sehubungan dengan big data perilaku pelanggan, dimulai dari pengumpulan data pelanggan, kemudian dilakukan pengolahan data, dan selanjutnya dianalisa. Hasil analisa data yang diperoleh dari big data dapat digunakan dalam membaca perilaku pelanggan, menangkap perubahan perilaku pelanggan dan yang terpenting adalah memprediksi kebutuhan pelanggan, baik kebutuhan yang sudah ada maupun kecenderung kebutuhan yang akan muncul di masa mendatang. Dengan adanya big data, maka artificial intelligence kemudian dapat lebih dikembangkan lagi.
Mengolah big data menjadi informasi serta dimanfaatkan dalam kecerdasan buatan merupakan sebuah peluang yang disadari oleh beberapa perusahaan, seperti General Electric dengan membentuk GE Digital yang menawarkan layanan otomatisasi produktivitas industri melalui pengumpulan, pengolahan dan penganalisaan data mesin industri agar berproduksi pada tingkat yang paling optimal dan hemat energi.  Internet adalah alat transimisi elektronik yang membuat orang dapat memperoleh dan menyampaikan informasi. Dengan adanya internet, seperti yang dikatakan Scmidt & Cohen (2014), setiap orang akan senantiasa berada dalam dua dunia: dunia nyata yang telah terbentuk selama ribuan tahun, dan dunia maya yang masih sedang mencari bentuknya. Di dunia maya membuat kita dapat menikmati konektivitas dengan cepat melalui berbagai peralatan, walaupun konektivitas tidak serta merata menghapus kesenjangan yang terjadi di dunia nyata. Ternyata, di dunia nyata kita masih harus berjuang melawan berbagai rintangan, seperti rintangan geografis, keadaan lahir (lahir di keluarga kaya di negara kaya, sedangkan yang lainnya lahir di keluarga miskin di negara miskin), serta perbedaan hakikat sebagai manusia. Bagi orang yang sudah hidup dalam keduanya, maka kedua dunianya itu tidak terpisahkan satu sama lain.

Digital Economy
Lahirnya era digital, membangkitkan konektivitas global dimana orang dalam jumlah yang tak terhitung saling terhubung secara daring memberikan respon yang luar biasa. Perubahan teknologi ini akan memunculkan paradigma baru yang sangat drastis perbedaannya dimasa mendatang sehingga memunculkan pertanyaan ‘bagaimana manusia di seluruh dunia memanfaatkan teknologi baginya, kini dan di masa mendatang. Dalam ilmu ekonomi, indikator penting pertumbuhan ekonomi adalah produktifitas yang mengukur nilai ekonomi yang diciptakan untuk setiap satu unit input, seperti jam tenaga kerja. Bagi perusahaan yang telah mapan, untuk dapat bersaing dalam ekonomi digital, maka produk harus menjadi more customized, organisasi menjadi lebih fleksibel melalui perubahan misi, struktur dan srategi, serta pabrik menjadi virtual manufacturing. Untuk memudahkan proses penyeleksian pinjaman, perusahaan teknologi finansial pinjaman bekerja sama dengan penyedia platfrorm yang memiliki rekam jejak usaha kecil menengah, seperti tingkat penjualannya yang terus mengalami peningkatan.

ERA DISRUPTIF
Schumpeter’s Theory of Creative Destruction
Dikutip dari Weis (2015), sehubungan dengan “Theory of Creative Destruction” yang dikemukakan oleh Schumpeter (1950) yang menjelaskan bahwa proses pembaharuan ekonomi terjadi melalui inovasi yang merupakan mekanisme merusak keseimbangan yang tengah terjadi dan kemudian menciptakan yang baru.  Bagi Schumpeter (1950), sehubungan dengan hasrat untuk mencipta, maka entrepreneur merupakan figure yang bersedia dan berkemampuan untuk mengimplementasikan ide-ide dan penemuan-penemuan barunya menjadi inovasi yang berhasil. Oleh karena itu, entrepreneur merupakan agen perubahan.

Christensen’s Theory of Disruptive Technology
Disruptif adalah sebuah gangguan yang di era digital ini muncul dari hasil inovasi berbasis teknologi dimana kemunculannya menjadi tantangan terhadap kemapanan bisnis yang telah ada. Pernyataannya sehubungan dengan disruptive innovation tersebut kemudian disitasi dalam berbagai artikel jurnal maupun media masa yang kemudian memunculkan perdebatan akibat dari kesalahpahaman pemahaman. Jadi, mengasumsikan bahwa disruptive innovation akan selalu mengalahkan sustaining innovation, maka dinyatakan bahwa Christensen’s Theory of  Disruptive Innovation membuat sejumlah prediksi yang keliru. Salah satu kegagalannya adalah adanya ansumsi yang tidak tepat. Dalam studinya, Christensen (2006) kemudian menegaskan bahwa disrupsi bukanlah masalah teknologi, melainkan masalah model bisnis. Menanggapi pengembangan konsep inovasi disruptif yang dikembangkan dalam berbagai sector bisnis khususnya dalam industri media di Indonesia, Haryanto (2017) menyatakan bahwa dengan adanya penemuan internet, maka hampir semua industri mengalami apa yang Rhenald Kasali nyatakan sebagai ‘musuh-musuh yang tidak kelihatan’. Adanya akses yang bersifat ‘mobile’ membuat konsumen diberi kesempatan untuk memberikan tanggapan terhadap input-input yang diberikan. Dengan memberikan peluang terhadap keterlibatan konsumen (customer engagement) dalam proses pembuatan produk atau penyampaian jasa, maka berdampak pada cara desain maupun cara pemasaran dari produk ataupun jasa yang dihasilkan, yaitu menjadi customization. Dengan demikian, disrupsi dapat berasal dari sisi permintaan.

FIRM LIFE CYCLE
Perusahaan-perusahaan yang berpeluang menghadapi dilema akibat mempertahankan sustaining innovation, seperti yang disampaikan Clayton M.Christensen, merupakan perusahaan-perusahaan yang sudah berada pada tahap kedewasaan (mature phase) dalam daur hidupnya (firm life cycle). Yang pertama, memahami pada tahapan manakah perusahaan berada. Yang kedua, keputusan manakah yang menjadi prioritas terkait pada tahapan mana perusahaan berada. Hal ini dapat dilihat dari banyaknya tahapan daur hidup perusahaan yang diusulkan sebagai hasil studi atau penelitian. Seperti pada daur hidup manusia (human life cycle) atau pada daur hidup produk (product life cycle), tahapan daur hidup perusahaan (firm life cycle) dibagi ke dalam empat tahapan, yaitu tahapan kelahiran (birth or introduction phase), tahap pertumbuhan (growth phase), tahap kedewasaan (maturity phase) dan tahap penurunan (decline phases), Pashley & Philippatos (1990). Sehubungan dengan tahapan daur hidup perusahaan, pada dasarnya, semua perusahaan akan berada pada tahapan kelahiran (birth phase). Perdebatan lainnya adalah, apakah perusahaan dapat kembali mengalami tahapan yang telah dijalani sebelumnya. Setelah perusahaan berada pada tahapan kedewasaan, perusahaan dapat kembali berada pada tahapan pertumbuhan. Ke tahapan sebelumnya karena mempertimbangkan menggunakan teknologi baru akibat adanya pesaing baru, seperti yang diungkapkan dalam Disruptive Theory, bukanlah pilihan yang menarik bagi perusahaan. Beragamnya jumlah tahapan dalam daur hidup perusahaan ternyata disebabkan belum adanya metodologi yang robust. Salah satu penyebab permasalahan kurangnya metodologi penetapan daur hidup perusahaan adalah pemilihan tipe dan jumlah variabel penelitian, yaitu umur perusahaan dan perumbuhan penjualan. Dengan menggunakan metodologi yang dikembangkan Yan & Zhao (2010), ada satu perusahaan yang tidak dapat diidentifikasi tahapan daur hidupnya.

GENERASI MILENIAL
Generasi ini di kenal sebagai generasi yang ‘bergaul erat’ dengan teknologi komunikasi dan informasi, yaitu: melalui internet berselancar di dunia maya dalam memperoleh informasi dan berkomunikasi melalui sosial media. Sementara generasi Y maupun Z sudah bisa mempercayai kondisi barang yang akan dibelinya dengan hanya melihatnya melalui internet.   Terkoneksi merupakan kata kunci dari generasi milenial yang hanya dimungkinkan ketika memiliki teknologi komunikasi namun juga ‘sinyal’ yang membuat keterhubungan satu dengan lainnya. Alvara Research Center mengemukakan juga bahwa ketergantungan yang tinggi pada media sosial mempengaruhi watak generasi milenial yang cenderung bebas, tak memperhatikan aturan formal, etika dan adat istiadat serta tata krama.  Budaya kerja generasi milenial ini ditengarai berpeluang memunculkan ketidakselarasan (conflict) terutama pada perusahaan-perusahaan yang dalam kemajuan teknologi yang capainya, mereka masih mempertahankan budaya kerja generasi sebelumnya.  Sehubungan dengan pekerjaan yang sesuai bagi generasi milenial, dari budaya hidupnya sudah dapat diduga bahwa mereka akan memilih untuk bekerja lepas, yaitu tidak terikat waktu kerja dan tidak terikat aturan-aturan diperusahaan. Yang utama bagi generasi milenial adalah memiliki banyak koneksi, dapat mengembangkan keahlian yang bisa jadi merupakan kegemarannya, dapat membuat mereka bekerja kreatif. Mereka memilih untuk memiliki usaha sendiri, sehingga dapat menerima pesanan langsung dari konsumen individu. Tapi, tidak sedikit yang mengerjakan pesanan dari perusahaan atau organisasi tertentu. Dengan berkolaborasi, perusahaan dapat memperoleh ide kreatif yang di datangkan dari luar perusahaan. Dengan demikian, pada masa mendatang, perusahaan dapat tetap memiliki karyawan dari generasi sebelumnya yang bekerja di kantor dengan jam kantor seperti yang telah ditetapkan. Sementara, karyawan dari generasi milenial bekerja di luar kantor.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.